Ahli Geofisika Jerman: Sistem Peringatan Dini Tsunami di RI Berfungsi

Sistem peringatan tsunami di Indonesia tidak gagal, kata Jrn Lauterjung dari Geoforschungszentrums (GFZ) di Potsdam, yang turut membangun sistem itu tahun 2005.

Setelah bencana tsunami Aceh dan Sumatera Utara tahun 2004, di Indonesia dipasang sistem peringatan dini tsunami dengan bantuan dana dari Jerman dan di bawah koordinasi pusat penelitian geologi Geoforschungszentrums (GFZ) di Potsdam. Anggota tim ahli Jerman yang turut membangun sistem itu, Jrn Lauterjung mengatakan dalam wawancara dengan DW, sistemnya berfungsi.

Deutsche Welle: "Dr. Jrn Lauterjung, jurubicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Indonesia mengatakan, sistem peringatan dini tsunami yang turut Anda bangun sudah tidak berfungsi sejak 2012, karena masalah dana. Apakah sistemnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya?

Jrn Lauterjung: Sistemnya berfungsi sesuai rencana dan sudah dioperasikan sejak lama. Lima menit setelah gempa (di Sulawesi Tengah), pusat pemantauan di Jakarta mengeluarkan peringatan tsunami, bahwa ada ancaman tsunami setinggi 30 centimeter sampai 3 meter. Mungkin yang dimaksud pejabat Indonesia itu adalah sistem dengan buoy di tengah laut.

Buoy ini di masa lalu memang sering rusak tertabrak perahu nelayan. Apakah sistemnya masih bisa mengeluarkan peringatan untuk kawasan-kawasan yang terancam?

Karena dulu memang sering ditemukan rusak, kami sudah memutuskan untuk tidak mengoperasikan buoy-buoy itu lagi. Tapi sistemnya berfungsi, juga tanpa buoy, karena kami selama menjalankan proyek ini sudah punya cukup banyak pengalaman. Saat ini kami sudah bisa mengukur gerakan-gerakan vertikal di dasar laut melalui stasiun-stasiun GPS yang dipasang di darat. Itu berfungsi sama baiknya.

Instansi terkait di Indonesia mengeluarkan peringatan dini tsunami, namun memcabutnya lagi setelah kira-kira setengah jam. Apa itu sesuai prosedurnya?

Menurut prosedur internasional yang kami sepakati bersama dalam kasus seperti itu, sebenarnya peringatan tsunami harus berlangsung paling sedikit selama dua jam. Tapi dalam kasus ini, pembatalan peringatan tsunami oleh instansi terkait di Indonesia, yaitu BMKG, sebenarnya tidak memainkan peran lagi, karena menurut informasi yang ada, gelombang tsunami saat itu sudah berlalu. Gempa bumi terjadi sekitar pukul 18. Lalu peringatan tsunami dikeluarkan pukul 18.07. Sedangkan gelombang tsunami melanda palu pukul 18.25. Peringatan tsunami dicabut sekitar pukul 18.36.

Berarti, sebenarnya ada peringatan kepada penduduk tentang tsunami?

Ya, peringatan itu disampaikan kepada pemerintahan setempat dan semua instansi yang dengan penanggulangan bencana pada tingkat lokal. Lalu mereka yang seharusnya menyebarkan peringatan secepatnya kepada masyarakat lokal. Dari berita-berita media disebutkan, penduduk tidak menerima peringatan itu. Apa sebabnya, saya tidak mampu mengatakan, sebab sejujurnya, terlalu sedikit informasi untuk menilai apa yang sebenarnya terjadi saat itu.

Mungkinkah infrastruktur untuk penyebaran informasi di kawasan pantai tidak ada, sehingga peringatan tsunami tidak bisa langsung disampaikan kepada penduduk setempat?

Ya mungkin saja, karena misalnya jaringan listrik mati setelah gempa sebelumnya. Lalu jaringan listrik darurat tidak berfungsi, atau ada alasan lain. Saya tidak punya informasi, tentang apa yang terjadi di lokasi saat itu. Tentu saja bisa dimengerti, kalau orang-orang di Indonesia saat ini punya masalah lain, daripada menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Jerman. Tapi yang jelas, peringatan tsunami sampai ke pemerintahan lokal dan lembaga-lembaga terkait. Apa yang kemudian terjadi, kami tidak tahu.

Apakah sebagai konsekuensinya perlu dipikirkan perbaikan-perbaikan teknis, sehingga dalam kasus bencana informasi itu bisa dijamin sampai kepada penduduk yang membutuhkannya?

Tentu saja selalu harus dipikirkan solusi teknis yang lebih baik. Tapi menurut saya, kita juga harus memperhatikan bagaimana caranya meningkatkan pengetahuan dan perhatian masyarakat, jika ada peringatan seperti itu. Ini kelihatannya yang tidak berfungsi, karena penduduk tentu merasakan telah terjadi gempa. Mereka pasti merasakan sendiri, gempa itu cukup kuat dan lama, sehingga mereka bisa menyimpulkan sendiri, tanpa mendapat peringatan dari Jakartam bahwa orang harus cepat menyingkir dari kawasan pantai menuju tempat yang lebih tinggi.

Mungkin justru karena orang tidak mendengar ada peringatan tsunami, sehingga mereka berpikir, gempa bumi itu tidak mengakibatkan gelombang pasang yang hebat?

Saya kira sebaliknya: Lebih baik kita lari lebih dulu, sekalipun ternyata percuma, daripada tewas diterjang tsunami. Di Jepang misalnya, sering sekali ada alarm tsunami, yang ternyata tidak terjadi. Tapi orang-orang tidak mengatakan "Alarmnya salah", melainkan mereka mengatakan "kita kali ini beruntung".

Ahli seismologi Indonesia Widjo Kongko dalam wawancara dengan DW mengatakan, sistem yang sekarang kurang memadai dan ahrus ada sensor yang dipasang di dasar laut. Bagaimana pendapat Anda?

Ketika sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun tahun 2005, Widjo Kongko sedang menyelesaikan program S3-nya di tempat kami. Memang benar apa yang dia katakan. Tentu saja lebih baik lagi, kalau kita bisa memasang seismometer di dasar laut, karena kita akan bisa menghitung dampak gempa lebih akurat lagi. Misalnya memasang kabel di lepas pantai, lalu seismometer dipasang di kabel pada jarak tertentu. Tapi ini tentu akan mahal, kalau kita mau memasangnya di seluruh lepas pantai Indonesia. Ada juga ilmuwan Rusia yang misalnya mengatakan, fenomena tsunami sebelumnya bisa diamati dari atmosfir. Tapi itu sama sekali belum terbukti. Tentu saja, kalau kita bisa memprediksi gempa bumi sebelum itu terjadi, kita tidak perlu sistem peringatan dini tsunami. Tapi kita tidak bisa memprediksi dengan tepat, kapan gempa akan terjadi, juga di tahun-tahun mendatang kita tidak akan bisa melakukannya. jadi saya tidak melihat alternatif untuk sistem peringatan dini yang kita miliki sekarang.

Dr. Jrn Lauterjung adalah Direktur Divisi "Data, Informasi dan Jaringkan Teknologi Informasi (IT)" di GFZ Potsdam. Wawancara dilakukan oleh editor DW Alexander Freund (hp)

Sumber : https://news.detik.com

Baca Lainnya

PILIHAN REDAKSI